Oleh: Rusmin Sopian

KETIKA mendengar Umar bin Khatab terkesan ragu menerima tanggungjawab besar menggantikan khalifah Abu Bakar, Abu Bakar Sidiq RA yang sedang sakit memanggil Umar. Dalam situasi begini ungkap Abu Bakar, ada dua orang yang akan masuk neraka. Pertama orang yang menerima jabatan dan tanggungjawab besar padahal tidak mampu dan tidak layak menerimanya. sedangkan kedua adalah orang yang mampu namun memilih lari menghindari tanggungjawab besar itu.

Kita sebagai anak bangsa juga mencatat sepakterjang Bung Karno sebagai pemimpin bangsa ini. Usai menjalani “kehidupan baru” selepas dari penjara, Bung Karno menyatakan dengan retorika nasionalisme yang menjadi ciri khasnya bahwa seorang pemimpin tidak akan berubah karena hukuman. Saya masuk penjara untuk memperjuangkan kemerdekaan. Dan saya meninggalkan penjara untuk pikiran yang sama,”.

Ditengah himpitan depresi ekonomi dan rezim yang refresif ” rust en orde ” pada dekade 1930-an, dengan setegar baja Bung Karno menyatakan, “Betul banyak orang bertukar haluan karena penghidupan. Tetapi pemimpin yang suci senantiasa terjauh dari godaan iblis itu,”.

Dikatakannya, ketetapan hati dan keteguhan iman adalah salah satu syarat yang kardinal untuk menjadi seorang pemimpin. Kalau seorang pemimpin, kata Bung Hatta, tidak mempunyai moril yang kuat dan setegar baja, maka seorang pemimpin tidak dapat memenuhi kewajibannya dan lekas terhindar dari pergerakkan.

Dalam tipologi Max Weber, ada tiga (3) macam tipe kepemimpinan yaitu kepemimpinan tradisional, kharismatik dan legal rasional. Kepemimpinan tradisional tergantung kepada kekerabatan tradisi masa lampau yang selalu diingat dari kenyataan yang mendahului.

Kepemimpinan kharismatik merupakan kepemimpinan yang mengaksentuasikan kualitas yang unik dan luarbiasa dari perorangan sang pemimpin. Sementara itu kepemimpinan legal rasional bertumpu pada kekuataan imporsonal dan abstrak pada cakupan tugas secara hukum dan pemangku yang mendapat kekuasaan berkat hukum itu sendiri.

Pada sisi lain, seorang pemimpin memang harus punya kelebihan diatas rata-rata. Seorang pemimpin harus lebih cerdas, lebih percaya diri, lebih liberal dan lebih bermoral. Singkatnya, lebih baik dibanding rata-rata warga masyarakatnya.

Sosiolog UI, Imam Prasojo, justru mengkhawatirkan di masa mendatang bangsa Indonesia lebih banyak memiliki kepemimpinan kerumunan daripada kepemimpinan Legal Formal. Pemimpin kelas ini jelas Prasojo muncul dari “kerumunan” tanpa memiliki rekam jejak yang jelas dan track record yang mumpuni.

Sementara itu agar kepemimpinan berjalan efektif, seorang pemimpin harus mendapatkan rasa hormat dan kepercayaan dari orang yang ia pimpin. Rasa hormat maupun kepercayaan ini baru bisa diperoleh ketika kita melihat sosok yang membuktikan apa yang selama ini dia ucapkan.

Contohnya, jika kita melihat orang yang selalu bicara tentang kejujuran atau integritas, maka yang kita harapkan adalah apa yang ia sampaikan tersebut terwujud dalam perilaku atau tindakannya sehari-hari. Dan bukan lain yang diretorikakan lain pula aplikasinya secara nyata dan faktual yang membingungkan rakyat dan bawahannya. Tidak ada sinkronisasi antara omongan dan kenyataan.

Guru bangsa Nurcholis Madjid (alm) yang akrab dipanggil Cak Nur tak henti dan dengan kesabaran selalu mengingatkan tentang pentingnya menegakkan standar moral bangsa. Dalam analisa Cak Nur, lemahnya standar moral inilah yang menyebabkan kita kini menjadi salah satu halaman belakang Asia Timur. Ditinggalkan oleh negara-negara tetangga yang sudah berkembang menjadi negara maju. Dan penyebabnya, lanjut Cak Nur, adalah etos kerja yang lembek dan sarat korupsi yang gawat. Sumber malapetaka ini terjadi karena pengelolaan yang lemah dalam urusan pemerintahan dan kekuasaan.