2 dari 5 halaman

Secara umum, dikenal adanya “dukun putih” dan “dukun hitam”. Namun kategori ini sangat tergantung konteks sosialnya. “Dukun putih” untuk tujuan “baik”, menolong, dan menyembuhkan; sedangkan “dukun hitam” untuk tujuan yang dianggap negatif, “jahat”, melukai atau bahkan membunuh.

Dukun dapat juga dilihat dari sisi jenis aktifitasnya, misalnya: dukun prewangan (penghubung manusia dengan roh), dukun beranak (membantu persalinan), dukun siwer (pencegah kemalangan), dan ada pula dukun susuk, yang menjanjikan kecantikan, pamor dan wibawa dengan cara memasukkan atau membenamkan semacam jarum pendek yang amat halus terbuat dari bahan emas, berlian, ataupun batu kristal ke bagian tubuh manusia.

Terdapat juga dukun jampi yang mampu mengobati dengan mantra dan herbal. Dukun santet, dukun teluh, atau dukun tenung, yang menganiaya dan mencelakakan lawan dengan magis. Di beberapa daerah lain dikenal istilah dukun leak (Bali), dukun minyak kuyang (Kalimantan Selatan), dan beragam sebutan lain di masing-masing daerah di Indonesia.

Sebagai fenomena politik, keberadaan dukun di Indonesia sejalan dengan berkembangnya demokrasi modern pasca kemerdekaan. Dukun politik menjanjikan keuntungan dan kemenangan penggunanya di ranah politik. Walau hampir tidak ada catatan akademik tentang fenomena dukun dalam politik Indonesia, dukun politik mendapat tempat dalam dinamika politik dan menjadi salah satu pilar lingkaran dalam kekuasaan jaman Orde Baru. Bukan hanya para pemain politik lokal di daerah, Soeharto sebagai “orang besar” disebut-sebut sangat kental dengan wilayah abu-abu ini.

Meski pada jaman ini rekrutmen politik relatif memiliki pola yang sederhana berdasarkan unsur ABG (ABRI, Birokrasi dan Golkar), peran dukun bukan tidak tanpa ruang. Justru, dukun mendapat tempat yang khusus namun tersembunyi.

Apalagi, memperoleh “restu” penguasa rezim adalah kata kunci. Sehingga, tugas dukun adalah melicinkan jalan dalam memperoleh “restu” dengan cara mencari tahu pola, serta aktor dalam dinamika yang tertutup itu (Wawancara penulis dengan mbah Lim, Sidoarjo, 17 Januari 2012).