Pada tataran ideal sekarang, pendidikan haruslah diartikan sebagai serangkaian usaha untuk memperhaluskan budi, mempertajamkan akal, dan meningkatkan peradaban. Berkaitan dengan memperhalus budi, pendidikan dimaksudkan untuk membuat seseorang menjadi rendah hati, memiliki pertimbangan moral, dan memiliki kecakapan untuk bisa bersosialisasi dengan baik di masyarakat.

Sementara pendidikan untuk mempertajam akal bisa dimaknai secara sederhana sebagai proses untuk membuat orang yang semula tidak paham menjadi memahami, melalui pendidikan pula seseorang dikenalkan dengan berbagai perspektif untuk memahami sebuah permasalahan yang terjadi dengan kata lain pendidikan melatih seseorang untuk berpikir secara kritis.

Adapun pendidikan sebagai alat untuk meningkatkan peradaban erat kaitannya dengan peran pendidikan dalam pembangunan. Menurut John Dewey, pendidikan difungsikan sebagai jembatan untuk mengisi gap pengetahuan tentang pengalaman antara generasi saat ini dengan generasi terdahulunya. Apa yang kita ketahui saat ini merupakan serangkaian akumulasi dari pengetahuan yang diperoleh oleh generasi sebelumnya, hal ini yang dikatakan oleh Isaac Newton sebagai ‘standing on the shoulders of giant’.

Serangkaian akumulasi pengetahuan tersebut ditujukan tak lain agar umat manusia bisa hidup secara lebih baik kedepannya. Dengan bantuan pendidikan, manusia bisa menciptakan berbagai teknologi yang memudahkan kehidupannya, pendidikan juga mengajarkan kepada kita tentang toleransi, untuk saling menghargai hak satu sama lain, dan sebagainya.

Sayangnya, konteks pendidikan saat ini yang begitu mulia sebagaimana disebutkan diatas untuk memanusiakan manusia, membuat orang semakin beradab telah berubah seiring dengan berkembangnya kapitalisme. Sebagai sebuah sistem yang berwatak rakus dan eksploitatif, kapitalisme menghendaki komodifikasi segala aspek kehidupan manusia, termasuk didalamnya pendidikan.

Bentuk-bentuk dari penindasan dalam pendidikan itu sendiri adalah hegemoni kurikulum, penguasa sangat kuat menancapkan taring kekuasaan dalam dunia pendidikan, termasuk di dalamnya perumusan dan pelaksanaan kurikulum, bongkar pasang kurikulum, setiap ganti pemerintahan berganti pula kebijakannya.

Kurikulum selalu menerjemahkan “belajar dari kegiatan” menjadi sebuah komoditas di mana sekolah memonopoli pasar. Kurikulum seolah disiapkan dan dirancang untuk disesuaikan dengan karakter masyarakat dengan mengatasnamakan kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Padahal kurikulum selalu diubah dan diperbaharui dalam jangka waktu kurang dari lima tahun.

Indikasi yang dapat ditangkap adalah setiap pergantian kurikulum akan selalu menghadirkan proyek yang melimpah bagi pemilik “percetakan buku” (Susilo, 2007). Sehingga silogismenya perubahan kurikulum bukan untuk kepentingan masyarakat, namun demi kepentingan pemilik modal. Akhirnya guru hanya sebagai distributor yang menyajikan hasil akhir dari kurikulum kepada para murid sebagai konsumen.