TENGGARONG, BERITABANGKA.COM – Ngulur Naga menjadi prosesi sakral oleh masyarakat Kutai dalam merayakan Festival Erau. Festival ini digelar untuk merayakan upacara Tijak Tanah dan Mandi ke Tepian. Kedua upacara tersebut digelar saat penobatan Aji Batara Agung sebagai raja Kutai pada tahun 1300. Raja Aji Batara Agung berhenti memimpin pada tahun 1325 dan Festival Erau dan Ngulur Naga dijadikan ritual penobatan setiap penerusnya.

Ngulur Naga bermakna secara rombongan mengarak replika naga. Sepasang naga dengan panjang 31.5 meter diarak masyarakat Kutai dan ratusan warga yang memeriahkannya.

Kedua naga ini diberi nama Naga Bini dan Naga Laki, sepasang naga wanita dan laki-laki. Rute penghantaran naga melibatkan sungai legendaris Mahakam. Naga kemudian diangkut ke atas kapal. Selama perjalanan kapal berhenti beberapa kali untuk berkomunikasi dengan para mahluk sakral.

Sesampainya di Jaitan Layar, Kutai Lama, kapal akan berputar sebanyak 7 kali hingga akhirnya merapat ke dermaga. Di Kutai Lama inilah kepala dan ekor naga akan dipisahkan. Tubuhnya ditinggalkan di Kutai Lama, sedangkan kepala dan ekornya dibawa kembali Ke Keraton. Tubuh akan dihanyutkan ke Sungai Mahakam sebagai pemakmuran.

Replika hewan mitologi ini dibuat dengan warna yang begitu mencolok. Keberadaannya tak bisa lepas dari kisah awal mula lahirnya para Raja. Konon, permaisuri dan raja pertama Kutai terlahir dari kejadian misterius. Kelahiran Putri Karang Melenu dan Raja Aji Batara Agung identik dengan cerita naga penghuni Sungai Mahakam. Kejadian tersebut menjadi legenda masyarakat Kutai yang masih terjaga hingga kini.

Kedua naga ini terbuat dari kayu dan rotan, yang memanjang bak ular sepanjang 31.5 meter. Terdapat leher dan kepala yang tegak berdiri 1.5 meter. Kepala naga diukir sedemikian rupa wajahnya lengkap dengan mahkotanya. Sedangkan tubuhnya dari rotan yang dihias dengan kain warna-warni sebagai sisik sang naga.

Meskipun telah lama hilang, pada tahun 2002 dibangun kembali Kedaton Kutai Kartanegara. Terletak di pusat Kota Tenggarong, Kalimantan Timur oleh Pemerintah Kabupaten Kutai. Adanya bangunan keraton tersebut sebagai pertanda dihidupkannya kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Istana ini lebih difungsikan sebagai kantor lembaga kesultanan dan tempat pagelaran seremonial Sultan dan Kesultanan.

Larung replika naga merupakan Ngulur Naga menjadi prosesi sakral oleh masyarakat Kutai dalam merayakan Festival Erau. Festival ini digelar untuk merayakan upacara Tijak Tanah dan Mandi ke Tepian. Kedua upacara tersebut digelar saat penobatan Aji Batara Agung sebagai raja Kutai pada tahun 1300. Raja Aji Batara Agung berhenti memimpin pada tahun 1325 dan Festival Erau dan Ngulur Naga dijadikan ritual penobatan setiap penerusnya.

Replika hewan mitologi ini dibuat dengan warna yang begitu mencolok. Keberadaannya tak bisa lepas dari kisah awal mula lahirnya para Raja. Konon, permaisuri dan raja pertama Kutai terlahir dari kejadian misterius. Kelahiran Putri Karang Melenu dan Raja Aji Batara Agung identik dengan cerita naga penghuni Sungai Mahakam. Kejadian tersebut menjadi legenda masyarakat Kutai yang masih terjaga hingga kini.

Konon Putri Karang Melenu muncul secara misterius dalam bentuk bayi dari dasar sungai Mahakam. Tubuhnya bersemayam pada sebuah gong yang diangkat oleh naga di pusaran air. Mengantarkan tubuh bayi kepada sang tetua adat Hulu Dusun.

Begitupula sang Aji Batara Agung, masa kecilnya dipercaya tiba-tiba muncul di depan pemuka masyarakat Jaitan Layar, Kutai Lama. Mereka percaya bayi tersebut harus dirawat dengan cara berbeda dari anak manusia pada umumnya.

Kisah Putri Karang Melenu dan Aji Batara Agung kini diabadikan pada sebuah ritual Ngulur Naga pada hari ke tujuh festival Erau di Kutai Kartanegara. Digambarkan replika naga yang membawa permaisuri diantarkan kembali dari Keraton Kutai menuju Kutai Lama. (***)