Oleh: Zahwa Fazadita

 

OPINI, BERITABANGKA.COM – Thrifting atau biasa dikenal sebagai sebuah aktivitas dimana seseorang berbelanja suatu produk, yang bisa berupa baju, sepatu, dan tas bermerek. Beberapa barang yang dijual di thrift adalah barang-barang unik dan langka yang susah ditemukan di pasar-pasar lokal.

Namun, barang-barang bekas dengan kondisi layak pakai biasanya dijual dengan bandrol harga yang sangat murah dan terjangkau di kantong kaula muda.

Di Indonesia, thrifting lebih dikenal sejak lama sebagai awul-awul. Dahulu, thrifting dikenal sebagai kegiatan belanja barang bekas yang dilakukan oleh kalangan menengah ke bawah.

Meski demikian, berkat perkembangan teknologi dan tren-tren berpakaian di kalangan anak muda yang berkembang saat ini, thrifting menjadi salah satu kegiatan yang populer dan digemari oleh anak muda.

Jadi, bisa dirangkum bahwa kegiatan ini merupakan kegiatan berbelanja barang-barang bekas pakai demi mendapatkan harga yang lebih murah atau barang yang tidak biasa ada di pasar.

Membahas tentang dunia thrift, kegiatan ini diperkirakan sudah ada sejak tahun 1300-an di Inggris. Pada saat itu, istilah thrift merujuk pada fakta atau kondisi berkembang, kemakmuran, tabungan.

Berdasarkan The State Press, istilah thrifting ini mengacu pada penggunaan sumber daya secara hati-hati untuk menjadi makmur. Dengan seiring berjalannya jalan, pada pertengahan abad ke 19, thrifting dikenal sebagai kegiatan penggalangan dana untuk disumbangkan ke orang-orang yang membutuhkan.

Selain itu, popularitas thrifting semakin meningkat sebagai dampak dari Perang Dunia I dan II yang kemudian semakin berkembang dan menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia hingga saat ini.

Namun dengan menjamurnya budaya thrifting di kalangan anak muda Indonesia, pemerintah baru-baru ini mengeluarkan pernyataan pelarangan kegiatan thrifting impor dengan pembelian dalam jumlah yang super besar.

Tentunya hal ini sempat menjadi perdebatan di kalangan masyarakat Indonesia yang menyukai kegiatan thrifting. Hal ini telah menjadi perhatian khusus bagi pihak pemerintah sebagaimana tertulis dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 48/M-DAG/PER/2015 Tentang Ketentuan Umum di Bidang Impor serta Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas.

Pada Pasal 2 dijelaskan bahwa barang yang diimpor wajib baru. Selain itu, Alasan dari adanya pelarangan impor barang bekas juga dijelasan dalam UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Di UU Perdagangan Pasal 50 ayat (2) dikatakan ada tiga alasan pelarangan.

Sebagai contoh, terdapat beberapa kasus yang baru-baru ini terjadi berkaitan dengan kegiatan thrifting di Indonesia. Dimulai dari penyita puluhan karung pakaian bekas senilai puluhan juta yang dilakukan oleh Polda NTB di Pulau Lombok.

Terdapat banyak barang-barang thrifting dengan kisaran harga Rp 90 hingga Rp 150 juta yang disita. Selain itu, di tempat lain, Polda Metro Jaya mengamankan sebanyak 535 karung barang thrifting. Barang-barang yang disita tersebut merupakan dari gudang dan mobil-mobil yang akan didistribusikan.

Penindakan penyitaan barang bekas tersebut dilakukan sesuai arahan Presiden Joko Widodo untuk menindak pelaku yang memperdagangkan pakaian impor bekas.

Jika dilihat dari sudut pandang positifnya, thrifting sendiri sebetulnya dapat menjadi pemicu bagi industri tekstil atau pengusaha tekstil dalam negeri agar terdorong untuk memproduksi barang yang sesuai dengan selera dan minat masyarakat saat ini, khususnya kalangan remaja yang sangat menyukai atau menekuni dunia fashion.

Selain itu, dengan adanya kegiatan thrifting ini, kita dapat mengurangi jumlah barang yang dibuang dan memperpanjang umur pakai barang tersebut sehingga membantu mengurangi jumlah limbah yang dihasilkan dan juga mengurangi emisi karbon yang dihasilkan dalam proses produksi barang baru.

Maka dari itu ada juga yang berpendapat bahwa thrifting sejalan dengan prinsip ramah lingkungan dibandingkan membeli pakaian baru dari merek fast fashion.