Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati mengungkap adanya sinyal kalau ekonomi dunia pada 2023 ini akan gelap gulita. Kondisi ini membuat Indonesia harus kembali mengencangkan sabuk pengamannya dalam hal perekonomian.

Setelah melalui 2023 hingga ke pertengahan tahun, Ani menilai kondisi sedikit lebih baik dari yang diperkirakan semula. Walau demikian, sebelumnya organisasi dunia telah memproyeksikan pada 2023 ini akan banyak negara yang masuk ke dalam jurang resesi.

“Dunia akan gelap gulita 2023,” kata wanita yang akrab disapa Ani ini, dalam acara Penyerahan Insentif Fiskal yang disiarkan secara langsung lewat Kanal Youtube Kementerian Keuangan RI, Senin (31/7/2023) kemarin.

1. Sinyal-sinyal Ekonomi Gelap Gulita

Ani mengatakan, salah satu tanda yang paling terlihat ialah dari pertumbuhan dunia yang turun drastis. Adapun pada saat ini, pertumbuhan ekonomi dunia hanya sekitar 2,1%, turun drastis dari pertumbuhan tahun sebelumnya yang 6,3%.

Selain itu, pertumbuhan perdagangan dunia saat ini merupakan yang terendah, yakni hanya 2,1%. Angka ini jauh dibandingkan dengan tahun 2021 yang mencapai 10,7%. Dengan melihat kondisi ini, Ani menilai aktivitas perdagangan perlu terus didorong.

“Ini adalah lowest point, paling rendah, hanya 2,0%. Tahun 2021 pertumbuhan perdagangan global mencapai 10,7%. Kalau dunia tidak saling berdagang, pasti ada bagian dunia yang tadinya membutuhkan barang atau jasa tidak mendapatkannya, dan kemudian akan mendorong harga-harga menjadi naik,” jelasnya.

Kondisi ini berimbas pada terjadinya disrupsi baik dari sisi suplai maupun dari sisi perdagangan. Ani mengatakan, dari sisi disrupsi itulah akan sangat menentukan inflasi. Seperti yang terjadi pada 2022 silam, inflasi tertinggi dengan di masing-masing negara seluruh dunia mengalami kenaikan sangat tinggi. Dari inflasi 0%, inflasi dunia menyentuh 8,7%.

“Kalau permintaan turun, maka kegiatan produksi juga akan mulai menurun. Kita lihat di dunia saat ini indikator PMI (Purchasing Managers Index) manufaktur, yaitu indikator mengenai kegiatan manufaktur global,” kata Ani.

“Mayoritas negara 61,9% itu mengalami PMI manufaktur yang kontraktif. Ini negara-negara besar, Amerika, Eropa, Jerman, Perancis, Inggris, Jepang, Korea Selatan. Bahkan negara tetangga kita Malaysia, Vietnam, semuanya mengalami PMI manufaktur kontraktif,” sambungnya.

Ani mengatakan, kondisi ini merupakan gambaran dampak dari pelemahan ekonomi global, termasuk salah satunya inflasi yang menggerus daya beli, berdampak sangat besar terhadap negara tersebut. Demi mengendalikan inflasi, suku bunga dikerek naik, hingga akhirnya negara tersebut terpaksa ‘mengerem’ atau menghentikan sisi permintaan. Kondisi ini pun bisa memicu disrupsi suplai dan demand.

“Kalau inflasi tinggi, masyarakatnya tidak hepi. Tidak hepi berarti menjadi krisis politik di berbagai negara Eropa. Sekarang pemilunya sedang menghadapi kondisi yang tidak baik. Masyarakatnya tidak hepi, ada pengangguran dan juga ada imigrasi yang berasal dari negara-negara yang kemudian pindah,” kata Ani.

2. Gejolak Ekonomi di Sisa 2023

Lebih lanjut, Ani juga memberikan sinyal lampu kuning alias tanda hati-hati untuk paruh kedua 2023 ini. Kondisi ini disebabkan lantaran per akhir Juli ini Rusia telah mengakhiri perjanjian untuk distribusi di Laut Hitam yang merupakan lalu lintas gandum dan sunflower.

Rusia pun enggan memperbarui perjanjian untuk kembali membolehkan aktivitas distribusi tersebut. Kekhawatiran pun semakin bertambah dengan ancaman siklus El Nino yang diproyeksikan terjadi pada Agustus-September 2023 yang mengancam ketahanan pangan.

“Ini berarti bahwa pada paruh kedua tahun ini, kita akan sangat dipengaruhi ketidakpastian dari komoditas, hampir mirip 2022. Ditambah dengan nanti Ibu Qori akan membicarakan El Nino, ini akan menjadi sesuatu yang harus kita waspadai pada paruh kedua 2023 ini,” ungkapnya.

Ani menjelaskan, perang Ukraina-Rusia mendatangkan disrupsi bagi distribusi sejumlah komoditas dari kedua negara itu, utamanya biji-bijian. Kondisi ini berimbas secara global hingga mempengaruhi harga komoditas gandum serta crude palm oil (CPO).

Harga CPO, lanjut Ani, yang sempat melonjak naik hingga menyentuh angka US$ 1.733 per ton kini mengalami kontraksi dan telah berada di US$ 864 per ton. Walau demikian, Ani mengatakan trennya pada Juli ini agak merangkak naik kembali.

“Makanya CPO kita pasti kena, meningkat juga. Maka waktu itu krisis minyak goreng terjadi 2022 pada saat awal dari perang Ukraina. Ini yang saya sampaikan bahwa fenomena global akan mempengaruhi dan merembes ke seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia yang harus kita waspadai,” ujarnya.

3. Indonesia Masih Aman

Di sisi lain, tatkala dunia tengah begitu runyam dengan ekonomi yang melemah serta suku bunga yang melonjak tinggi, kondisi berkebalikan terjadi di Indonesia, yang mana telah menunjukkan pemulihan. Ani mengatakan, Indonesia mampu bertahan dengan pertumbuhan di atas 5% selama 6 kuartal berturut-turut.

“Ini dalam suasana dunia guncang tadi. Dan kalau kita lihat pertumbuhan ekonomi ini cukup sehat, didukung sisi demand, permintaan dan sisi suplainya. Dari sisi suplai tadi, kita termasuk PMI Manufaktur kita cukup positif dan sektor lain yang juga mulai pulih,” jelasnya.

Selain itu, Ani juga mengklaim pertumbuhan ekonomi RI cukup merata di setiap daerahnya. Di daerah Pulau jawa sendiri, pertumbuhan ekonominya telah mencapai 5,3% di 2022 lalu dan pada kuartal I 2023 sudah di atas 5%. Sementara pertumbuhan di Sumatera sendiri juga mencapai 4,8%, Kalimantan 5,8%, Sulawesi 7%, Bali dan Nusa tenggara 4,7%, serta Maluku dan Papua 2%.

“Ini hal yang bagus. Jadi, saya ingin mengatakan bahwa Indonesia memiliki kinerja ekonomi yang relatif baik, stabil dan perform, karena ada yang hanya perform satu semester atau 1 kuartal and then jatu lagi. Nah Indonesia ini 6 kuartal berturut-turut,” pungkasnya.

 

Berbagai sumber