• Ekonomi global tampaknya masih bergejolak dan belum menunjukkan tanda-tanda berakhir.
  • Momok inflasi dari kenaikan harga energi hingga pangan masih menghantui Indonesia hingga saat ini.
  • Kenaikan harga BBM hingga pangan pokok seperti beras dan gula memperparah kondisi ekonomi yang ada.  

 

EKONOMI, BERITABANGKA.COM – Ekonomi global tampaknya masih bergejolak dan belum menunjukkan tanda-tanda berakhir. Sudah lebih dari setahun pasca invasi Rusia-Ukraina, alih-alih memunculkan kabar baik, namun malah semakin ‘mencekik’ rakyat kecil di Tanah Air dengan kenaikan harga pangan dan energi yang gila-gilaan.

Tak bisa dipungkiri dampak berantai (multiplier effect) bagi ekonomi global tak bisa dihindari, termasuk Indonesia. Bagaimana tidak, baru saja memasuki masa pemulihan usai pandemi Covid-19 yang bahkan jumlah orang miskin masih meningkat membuat ekonomi global masih jauh dari kata pulih.

Kala itu, ancaman terhadap ketersediaan minyak dan gas bagi negara-negara Eropa di mana Rusia menguasai 40% pasokan gas alam dan 25% pasokan minyak di Eropa.

Sehingga, pasokan minyak dan gas untuk konsumen Eropa yang masih menghadapi musim dingin saat itu seret. Kekurangan pasokan inilah yang membuat harga minyak dan gas naik gila-gilaan. Dengan ini, semua negara terpukul terlebih pengimpor minyak mentah.

Pada Maret 2022 harga minyak mentah jenis Brent maupun WTI melonjak sekaligus mencatatkan level tertingginya dalam dua tahun terakhir. Saat itu, pada 8 Maret jenis Brent mampu menyentuh harga US$ 127,98 per barel, kemudian pada 21 Maret 2022 harga WTI menyusul ke level tertingginya yakni US$ 115,68 per barel.

Dengan kenaikan ini ironisnya, Indonesia adalah salah satu korbannya. Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membeberkan, bahwa Indonesia ternyata masih bergantung pada negara tetangga dalam memenuhi kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri.

Indonesia memang telah menjadi net importir alias pengimpor minyak maupun produk minyak (BBM) selama lebih dari satu dekade. Bahkan, impor minyak terus membubung setiap tahunnya.

Selama 2022, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor minyak mentah RI tercatat mencapai 15,26 juta ton, melonjak 11% dibandingkan impor minyak mentah pada 2021 yang tercatat sebesar 13,78 juta ton.

Begitu pun dari sisi nilai, impor minyak mentah pada 2022 disebutkan mencapai US$ 11,45 miliar atau sekitar Rp 171,7 triliun (asumsi kurs Rp 15.000 per US$), melonjak 62% dibandingkan nilai impor pada 2021 yang sebesar US$ 7,05 miliar atau sekitar Rp 105,7 triliun.

Kondisi inilah yang memantik harga minyak dalam negeri juga tak bisa tertahan untuk naik. Keputusan berat menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) tak bisa dihindari.

Pada September 2022, langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) khususnya harga jenis BBM khusus penugasan (JBKP) yakni RON 90 atau Pertalite menjadi salah satu peristiwa besar pada tahun 2022.

Jokowi memutuskan untuk menaikkan harga BBM Pertalite tepat pada 3 September 2022. Harga BBM Pertalite yang tadinya hanya Rp7.650 per liter naik menjadi Rp10.000 per liter sampai pada hari ini.

Tak hanya BBM Pertalite, di waktu yang sama harga Solar Subsidi juga mengalami kenaikan menjadi Rp6.800 per liter dari yang sebelumnya Rp5.150 per liter. Ini adalah pilihan terakhir pemerintah, yaitu mengalihkan subsidi BBM. Sehingga harga beberapa jenis BBM yang selama ini subsidi akan alami penyesuaian.

Wajar saja, sebelum pandemi tiba, harga minyak mentah dunia hanya di kisaran US$ 60-an per barel. Namun, harga itu melejit total hingga mencapai US$ 110-an per barel pada pertengahan tahun 2022 ini, imbas dari memanasnya geopolitik atau perang Rusia dan Ukraina.

 

Harga Minyak Melejit Lagi

Harga minyak mentah jenis brent berhasil menyentuh level tertinggi sejak awal tahun di level US$91,15 pada Selasa (5/9/2023). Sementara, per hari ini harga minyak mentah WTI di buka stagnan di posisi US$87,54 per barel, sementara harga minyak mentah brent di buka menguat 0,23% ke posisi US$90,81 per barel.

Lonjakan harga minyak belakangan ini tak lepas dari ulah Arab Saudi dan Rusia memperpanjang pengurangan pasokan minyak secara sukarela hingga akhir tahun. Pemotongan yang dilakukan Saudi sebesar 1 juta barel per hari (bpd) sementara Rusia telah memangkas 300.000 barel per hari.

Jumlah tersebut melebihi pemotongan pada bulan April yang disepakati oleh beberapa produsen OPEC+ yang berlaku hingga akhir tahun 2024.

Kedua negara akan meninjau keputusan pemotongan tersebut setiap bulan untuk mempertimbangkan memperdalam pemotongan atau meningkatkan produksi tergantung pada kondisi pasar.

Kenaikan harga BBM ini bisa berdampak terhadap harga BBM non subsidi pada Oktober mendatang. Jika harga minyak tak juga turun maka harga subsidi BBM subsidi terancam dinaikkan lagi.

PT Pertamina (Persero) dalam beberapa bulan terakhir sudah menaikkan harga BBM non-subsidi karena harga minyak yang terus melonjak.

Pada September tahun ini, semua jenis BBM non-subsidi mengalami kenaikan harga, mulai dari Pertamax, Pertamax Turbo, Pertamax Dex, Dexlite, hingga Pertamax Green 95.

Kenaikan harga BBM ini bakal membuat runyam situasi ekonomi Indonesia karena bakal mendorong inflasi kembali melonjak. Apalagi, pada saat yang bersamaan sejumlah harga pangan sudah naik juga. Harga beras misalnya, sudah naik lebih dari 10% sejak awal tahun ini bahkan terus mencetak rekor.

 

Kenaikan Harga Pangan Bisa Bawa Malapetaka

Harga beras bakal terus melonjak beberapa waktu ke depan. Penyebabnya karena tambahan stok tidak sebanyak biasanya. Sedangkan permintaan diprediksi bakal tetap stabil bahkan meningkat jelang akhir tahun nanti. India sebagai salah satu pemasok global juga menghentikan ekspor beras. Belum lagi perubahan iklim memicu kekeringan yang membuat produksi padi berkurang.

Kini, tak ada lagi harga beras yang berkisar di Rp10.000-an. Kecuali beras yang dijual pemerintah lewat Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) Perum Bulog. Dalam setahun, harga beras bulan September ini sudah naik 13,78% dibandingkan September 2022.

Dengan kondisi ini, tampaknya masyarakat perlu bersiap-siap dengan kenaikan harga beras yang bakal lebih tinggi lagi.

Jika kita mengikuti siklus padi saat ini hingga akhir September nanti adalah musim panen gadu. Karena produksi lebih rendah dari panen rendeng atau panen raya, harga gabah atau beras akan lebih tinggi. Oktober nanti kita mulai musim paceklik. Biasanya Oktober adalah waktu awal tanam, yang akan dipanen akhir Januari atau awal Februari di musim panen raya.

Penyebab utama potensi mundurnya waktu tanam dan panen karena situasi El Nino. Akibatnya kekeringan sudah mulai terjadi di beberapa daerah. Musim kemarau kering bakal terjadi dari wilayah Sumatra bagian tengah hingga Selatan, lalu seluruh pulau Jawa, disusul Bali hingga Nusa Tenggara Timur dan Barat, juga sebagian Papua.

Saat ini cadangan beras pemerintah (CBP) di Bulog sebesar 1,6 juta ton. Mengharapkan pengadaan dari dalam negeri peluangnya kecil. Saat ini harga gabah dan beras medium sudah di atas Harga Eceran Tertinggi. Sulit buat Bulog dapat gabah atau beras. Sementara Bulog mesti menyalurkan bantuan pangan beras selama 3 bulan mulai September – November 2023. Tiga bulan itu butuh 640-an ribu ton.

Di luar itu Bulog masih perlu mengamankan harga beras lewat SPHP (Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan), yang mungkin sampai akhir tahun bisa habis 150-200 ribu ton. Jadi, stok akhir tahun kemungkinan tinggal 750-800 ribu ton.

Tak hanya beras, belakangan harga gula juga turut mengalami kenaikan, setelah pemerintah melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas) menaikkan Harga Acuan Penjualan (HAP) di tingkat konsumen dan Harga Acuan Pembelian (HAP) di tingkat produsen.

Sialnya, tren kenaikan harga energi dan pangan ini bisa kembali mengerek inflasi.

Untuk diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indeks Harga Konsumen memang turun atau mengalami 0,02% (month to month (m-to-m) pada Agustus 2023.

Namun, secara tahunan (year on year/yoy) inflasi naik ke 3,27 %, dari 3,08% pada Juli.

Penyumbang deflasi bulanan terbesar pada Agustus 2023 makanan, minuman dan tembakau dengan deflasi 0,25% dan andilnya 0,07%. Jika dilihat secara rinci, komoditas yang sumbang deflasi bulanan ini a.l daging ayam ras dengan andil deflasi 0,07%, bawang merah andilnya 0,05%, telur ayam ras deflasi 0,02%.

 

Pemerintah ‘Boncos’ Karena Subsidi

Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2023 tentu berperan sebagai shock absorber lewat kompensasi energi. Sejauh ini, pemerintah tampak mengantisipasi lonjakan harga minyak. Dalam RAPBN 2023 asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) dinaikan menjadi US$ 80 per barel sementara rupiah ditetapkan Rp 14.800.

Merujuk data Kementerian ESDM, rata-rata ICP per Juli 2023 mencapai US$ 75, 21 per barel.

Namun, tingginya harga minyak dunia perlu diantisipasi sebab jika konaumsi meningkat didukung dengan mobilitas yang membaik, maka beban APBN untuk subsidi BBM juga akan kembali meningkat.

Belajar pada tahun sebelumnya, melalui Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2022, Pemerintah menaikkan anggaran subsidi dan kompensasi energi menjadi tiga kali lipat. Dalam hal ini, kenaikan subsidi untuk BBM dan LPG dari Rp77,5 triliun ke Rp149,4 triliun, serta untuk listrik dari Rp56,5 triliun naik ke Rp59,6 triliun.

Kemudian, kompensasi untuk BBM dari Rp18,5 triliun menjadi Rp252,5 triliun dan kompensasi untuk listrik dari semula Rp0 menjadi Rp41 triliun.

Total subsidi dan kompensasi untuk BBM, LPG, dan listrik itu mencapai Rp502,4 triliun pada 2022. Angka Rp502,4 triliun ini dihitung berdasarkan dari rata-rata ICP yang bisa mencapai US$105/barel dengan kurs Rp14.700/US$, serta volume Pertalite yang diperkirakan akan mencapai 29 juta kilo liter dan volume Solar bersubsidi yaitu 17,44 juta kilo liter.

Anggaran subsidi sendiri ditetapkan dengan menghitung ICP, kurs rupiah, serta volume. Sebagai catatan, sebelum 2015, pemerintah menanggung subsidi harga dengan menetapkan harga BBM pada level tertentu. Pemerintah mengkompensasi selisih dengan harga subsidi BBM melalui anggaran subsidi.

Sejak 2016, pemerintah tidak perlu lagi mengajukan kenaikan subsidi BBM jika terjadi pembengkakan anggaran atau hendak menaikkan harga BBM subsidi.

Sesuai pasal yang berlaku, anggaran untuk program pengelolaan subsidi dapat disesuaikan dengan kebutuhan realsiasi pada tahun anggaran berdasarkan perubahan parameter, realsiasi ICP, dan nilai tukar.

Anggaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan realisasi pada tahun anggaran berjalan berdasarkan asumsi dasar ekonomi makro, perubahan parameter, perubahan kebijakan, dan/atau pembayaran kekurangan subsidi tahun-tahun sebelumnya.

Namun, hampir delapan tahun setelah kenaikan pada 2014 lalu, subsidi belum lepas dari beban anggaran. Meskipun penentuan harga premium mengacu pada fluktuasi harga minyak dunia yang dievaluasi pada periode tertentu tetapi harga BBM tetap ditetapkan pemerintah.

Dengan harga yang masih ditetapkan maka Pertamina sebagai distributor BBM tidak bisa menetapkan harga sesuai harga pasar terkini. Kondisi tersebut bisa membebani Pertamina sebagai distributor BBM yang ditunjuk pemerintah.

Subsidi biasanya bengkak karena kenaikan harga minyak, pelemahan rupiah, atau konsumsi yang melebihi kuota.

 

 

 

Sumber: CNBC Indonesia research.