Oleh: Rafizah Purnama

Mahasiswi Fakultas Hukum, Universitas Bangka Belitung

BERITABANGKA.COM – Setiap tahun sering terdengar oleh kita berita mengenai perusahaan-perusahaan besar yang tiba-tiba mengalami kemunduran bisnis atau penutupan usaha. Kondisi seperti ini disebabkan oleh faktor internal dan eksternal yang dimana ketika perusahaan sebagai pelaku ekonomi menjalankan kegiatannya dengan pihak ketiga ternyata melupakan hak dan kewajiban untuk membayar utang piutang. Fenomena tersebut membuat masyarakat berasumsi bahwa perusahaan itu mengalami pailit atau bahkan perusahaan itu dilanda bangkrut.

Hal demikian tentu saja menjadi mimpi buruk bagi semua perusahaan. Namun, sebenarnya perlu digarisbawahi antara pailit dan bangkrut merupakan 2 (dua) hal yang berbeda secara makna dan arti. Jika dilihat dari segi keuangan, perusahaan bisa terkena pailit walaupun keadaannya baik-baik saja.

Sedangkan bangkrut terjadi karena dalam suatu perusahaan adanya unsur keuangan tidak sehat.

Dikutip dari Otoritas Jasa Keuangan Indonesia (OJK), pailit di definisikan debitur yang memiliki dua atau lebih kreditur yang tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Pernyataan pailit pihak debitur tersebut ditetapkan setelah melewati berbagai persidangan. Sidang kepailitan akan dilaksanakan paling lambat 20 hari setelah didaftarkan permohonan. Maka ditarik sebuah kesimpulan bahwa pailit adalah terkendalanya debitur untuk melunasi utang dan dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga.

Berdasarkan persoalan pailit, ketentuannya telah diatur oleh Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Dari Undang-Undang ini, pailit bisa dijatuhkan kepada debitur jika mempunyai beberapa ketentuan sebagai berikut, yakni memiliki dua atau lebih kreditur, tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo, serta dapat dijatuhkan atas permohonan sendiri maupun permohonan satu atau lebih kreditur.

Masalah kepailitan merupakan ketidakmampuan dalam pembayaran utang dan diajukan oleh pihak kreditur yang merasa dirugikan. Baru-baru ini muncul kasus gugatan kepailitan dari sebuah maskapai penerbangan terkenal milik Indonesia. PT Garuda Indonesia Tbk ditahun 2022 sempat lolos dari jeratan pailit, kini dikabarkan kembali digugat oleh beberapa krediturnya melalui pembatalan perdamaian proses homologasi yang pada pokoknya berdasarkan petitumnya, para kreditur meminta majelis mengabulkan Permohonan Pembatalan Putusan (Homologasi) Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang menyatakan Garuda Indonesia pailit dengan segala akibat hukumnya.

Dipailitkannya Garuda oleh beberapa kreditur apabila disetujui oleh Majelis Hakim akan berdampak pada berlakunya suatu prosedur kepailitan yang disebut dengan Actio Pauliana. Prosedur tersebut terjadi apabila timbul itikad buruk guna mengalihkan harta pailit yang ada.

Actio Pauliana sebagai instrumen dalam Undang-Undang Kepailitan disatu sisi melindungi kepentingan kreditur, akan tetapi disisi lain perlu memperhatikan perlindungan hukum terhadap debitur yang beritikad baik. Ketentuan umum Actio Pauliana ini diatur berdasarkan Pasal 1341 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata serta secara khusus diatur pada Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) sampai Pasal 49 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 mengenai Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Actio Pauliana atau disebut claw-back atau annulment of prefential transfer adalah sarana yang diberikan Undang-Undang kepada tiap-tiap kreditur untuk mengajukan pembatalan atas segala perbuatan yang tidak wajib dilakukan oleh Debitur dan dinilai merugikan Kreditur.

Dengan begitu, pengalihan objek Kepailitan memberikan hak kepada kreditur untuk melakukan Actio Pauliana demi bisa membatalkan perbuatan-perbuatan debitur yang merugikan sebagai salah satu bentuk perlindungan dalam mendapatkan jaminan atas piutangnya.

Dari kasus gugatan pailit PT Garuda Indonesia Tbk, diketahui adanya pemberlakuan prinsip Actio Pauliana. Prinsip ini berupaya membekukan harta debitur pailit. Pembekuan dapat terjadi hanya ketika berlangsung secara terang-terangan debitur mengupayakan pengurangan harta yakni demi kepentingan untuk menyelamatkan hartanya dengan tujuan agar menghindari penyitaan atau muncul tindakan lainnya yang merugikan kreditur.

Demi kepentingan harta pailit tadi, pengadilan dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum debitur yang telah dinyatakan pailit dan merugikan kepentingan kreditur untuk dapat dilakukan sebelum putusan pailit diucapkan. Tujuan prinsip Actio Pauliana dalam prosedur Hukum Kepailitan Indonesia dihadirkan supaya bisa memberikan peringatan kepada debitur bahwa ia akan dijerat sanksi penuntutan bila secara sengaja mengurangi harta kekayaan miliknya dengan alasan menghindari penyitaan dari Pengadilan Niaga.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa prinsip Actio Pauliana boleh diberlakukan pada kasus Kepailitan asalkan perbuatan tersebut dikategorikan sebagai perbuatan hukum yang merugikan kreditur dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum adanya putusan pailit. (TR)