BERITABANGKA.COM — Pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Kabupaten Bangka Selatan tahun ini menghadapi fenomena yang cukup dilematis. Hanya satu calon petahana yang maju, melawan kotak kosong. Kondisi ini menimbulkan perdebatan, terutama terkait peran penyelenggara pemilu, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), yang dinilai menghamburkan anggaran hingga puluhan miliar rupiah tanpa hasil yang signifikan.

Kritik keras datang dari berbagai pihak, terutama masyarakat Bangka Selatan, yang merasa bahwa sosialisasi yang dilakukan KPU dan Bawaslu tidak mencapai target. Jonai (bukan nama sebenar), salah satu warga Kota Toboali, mengungkapkan kekecewaannya terhadap kinerja KPU. Menurutnya, sosialisasi yang dilakukan oleh KPU selama Pilkada ini terkesan hanya menghabiskan uang negara tanpa memperhatikan efektivitasnya.

“Saya sangat menyayangkan sikap KPU dalam sosialisasi Pilkada kali ini. Kegiatan mereka seolah hanya membuang-buang anggaran, tanpa memikirkan apakah sosialisasi tersebut benar-benar sampai ke masyarakat atau tidak,” ujar Jonai dalam sebuah wawancara.

Sosialisasi yang digembar-gemborkan oleh KPU, menurut Jonai, tidak menyentuh langsung kebutuhan dan harapan masyarakat. Janji-janji yang biasa digaungkan oleh para komisioner KPU tentang pentingnya partisipasi pemilih tampak hanya sebatas formalitas. Pada kenyataannya, sosialisasi tersebut dinilai tidak efektif karena tidak menyentuh lapisan masyarakat yang seharusnya menjadi sasaran utama.

Selain itu, kondisi calon petahana yang hanya melawan kotak kosong menimbulkan pertanyaan besar tentang penggunaan anggaran. Dana miliaran rupiah yang dialokasikan untuk sosialisasi dan pelaksanaan Pilkada dianggap tidak proporsional dengan hasil yang dicapai. Banyak pihak berpendapat bahwa dengan situasi seperti ini, seharusnya KPU dan Bawaslu lebih cermat dalam mengelola anggaran dan memastikan setiap program mereka benar-benar efektif.

Tidak hanya Jonai, sejumlah masyarakat lainnya juga menyuarakan keprihatinan yang sama. Mereka menilai bahwa KPU dan Bawaslu lebih fokus pada pelaksanaan teknis tanpa memikirkan dampak jangka panjang dari sosialisasi yang dilakukan. Salah satu poin kritik utama adalah kurangnya inovasi dalam metode sosialisasi. Di era digital seperti sekarang, pendekatan tradisional yang dilakukan oleh KPU dinilai sudah tidak relevan dan tidak mampu menjangkau masyarakat dengan maksimal.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di Bangka Selatan, namun juga menjadi cerminan dari permasalahan yang lebih luas dalam penyelenggaraan Pilkada di berbagai daerah. Ketika calon tunggal melawan kotak kosong, tantangan utama yang dihadapi penyelenggara pemilu adalah bagaimana tetap menjaga semangat partisipasi pemilih. Namun, jika sosialisasi yang dilakukan tidak efektif, kepercayaan masyarakat terhadap proses pemilu bisa semakin menurun.

Di sisi lain, KPU dan Bawaslu menyatakan bahwa mereka telah menjalankan tugas sesuai dengan aturan yang berlaku. Sosialisasi yang dilakukan, menurut mereka, bertujuan untuk memberikan pemahaman yang menyeluruh kepada masyarakat tentang pentingnya menggunakan hak suara. Meski demikian, kritik mengenai efektivitas dan efisiensi penggunaan anggaran terus mencuat.

Anggaran yang besar memang diperlukan untuk memastikan pemilu berjalan dengan baik, namun penggunaannya harus sejalan dengan kebutuhan di lapangan. Jika tidak, masyarakat akan terus mempertanyakan tanggung jawab dan integritas penyelenggara pemilu.

Ke depan, diharapkan KPU dan Bawaslu dapat lebih responsif terhadap kritik yang dilontarkan. Inovasi dalam sosialisasi, pemanfaatan teknologi, dan pendekatan yang lebih efektif perlu diterapkan agar pemilu tidak hanya berjalan lancar dari sisi teknis, tetapi juga bermakna bagi masyarakat luas.

Fenomena Pilkada Bangka Selatan kali ini menjadi pengingat bahwa demokrasi tidak hanya soal pemilihan, tetapi juga tentang bagaimana penyelenggara pemilu menjalankan perannya dengan transparan dan bertanggung jawab. (*)