BERITABANGKA.COM – Ternyata petinggi KPK juga manusia tidak lepas dari sorotan publik atas kesalahan kinerja yang pernah dilakukan. Contohnya saja, salah satu petinggi di  lembaga antirasuah itu melakukan manuver sehingga tersandung dengan kesalahan dan kasus.

Kasus apa saja yang pernah melibatkan Firli?

Sejauh ini kepolisian belum mengungkap motif di balik dugaan pemerasan terhadap eks-Mentan Syahrul Yasin Limpo oleh pimpinan KPK.

Polisi juga belum mengumumkan nama pimpinan KPK yang melakukan pemerasan. Tapi, pimpinan KPK satu-satunya yang dipanggil untuk diperiksa adalah Firli Bahuri.

Ini bukan pertama Firli berjibaku dengan persoalan hukum. Sebelumnya, ia juga pernah dilaporkan ke Dewan Pengawas KPK atas dugaan pelanggaran etik dan kepolisian atas dugaan menerima gratifikasi.

3e115260 6f30 11ee b315 7d1db3f558c6

Berikut sederet kasus yang pernah melibatkan Firli, mulai dari yang terakhir.

  • April 2023

Firli Bahuri dilaporkan ke Dewas KPK karena mencopot Direktur Penyelidikan KPK, Endar Priantoro dari jabatannya. Menurut Endar pencopotan dirinya cacat administrasi.

Endar dan kelompok masyarakat juga melaporkan Firli atas dugaan pembocoran dokumen penyelidikan kasus dugaan korupsi tunjangan kinerja di Kementerian ESDM tahun anggaran 2020 – 2022. Terdapat bukti pengakuan dan dokumen elektronik.

Namun, pada Juni 2023 Dewas KPK menyimpulkan tak cukup bukti melanjutkan kasus Firli ke sidang etik.

Dalam kasus ini, Firli juga dilaporkan ke Polda Metro Jaya atas tuduhan membocorkan rahasia negara. Tapi belum ada kelanjutannya.

  • November 2022

Firli menemui Gubernur Papua, Lukas Enembe, yang menjadi tersangka kasus korupsi di KPK.

Pertemuan ini dianggap sejumlah kalangan melanggar Pasal 36 UU KPK, di mana pimpinan KPK dilarang bertemu dengan orang-orang yang sedang berperkara.

Namun, Ketua Dewas, Tumpak Hatorongan Panggabean tidak ada pelanggaran kode etik dalam pertemuan ini.

“Pertemuan antara pimpinan KPK dengan tersangka [Lukas Enembe] saya pikir kalau memang melaksanakan tugasnya, tentu tidak merupakan pelanggaran etik,” katanya.

  • Juni 2021

Firli dipanggil Komnas HAM, atas dugaan pelanggaran HAM dalam proses tes wawasan kebangsaan terhadap pegawai KPK. Tapi, Firli tidak memenuhi panggilan tersebut.

Ini menyusul laporan 75 pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan. Pegawai mengadu ke Komnas HAM karena menganggap tes itu melanggar HAM.

  • Juni 2021

ICW melaporkan Filri ke Bareskrim Polri atas dugaan penerimaan gratifikasi penggunaan helikopter untuk kunjungan pribadi. Peristiwa penggunaan helikopter yang dianggap gaya hidup mewah terjadi pada Juni 2020.

Dalam laporannya, ICW menduga ada selisih harga dari sewa helikopter antara yang dilaporkan Firli kepada Dewas dengan harga sebenarnya sebesar Rp100 juta. Dalam putusan ke Dewas, Firli disanksi teguran.

  • Januari 2020

Nama Firli sempat muncul dalam persidangan kasus dugaan suap Bupati Muara Enim, Sumatra Selatan, Ahmad Yani.

Dalam eksepsinya, Ahmad mengatakan pernah bertemu dengan Firli di rumah dinas Firli saat menjadi Kapolda Sumatera Selatan (31 Agustus 2019).

Disebutkan ada sejumlah uang yang dipergunakan sebagai pemberian kepada Kapolda Sumatera Selatan, Irjen Firli Bahuri apa yang disebut sebagai “uang simbol pertemanan”.

Firli mengakui pernah bertemu Ahmad Yani. “Saya boleh bertemu sama siapa saja. Yang jelas, tidak ada sesuatu [korupsi], kecuali bertemu,” katanya seperti dikutip dari Tempo.

  • 2019

Saat proses seleksi calon pemimpin KPK, Firli Bahuri dicecar tudingan melanggar kode etik. Firli pernah bertemu Gubernur NTB, Zainul Majdi 2018 yang menjadi saksi dugaan korupsi dana divestasi Newmont. Saat itu Firli menjabat Deputi Penindakan KPK.

Firli mengakui pernah menemuinya, tapi ia membantah melanggar etik. “karena unsurnya memang tidak ada. Dia bukan tersangka, dan saya tidak mengadakan hubungan,” katanya.

Firli sempat diproses etik, tapi berhenti karena ditarik penugasannya ke kepolisian.

Selain itu, Firli juga diduga pernah dibiayai seseorang untuk menginapkan anak dan istrinya di Hotel Grand Legi, Mataram selama dua bulan 24 April – 26 Juni 2019.

Firli membenarkan anak dan istrinya menginap di hotel selama dua bulan. Tapi ia membantah dibayarkan orang lain, melainkan istrinya sendiri.

Apa yang membedakan KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri?

Tiga pimpinan KPK periode terakhir ini pernah dilaporkan ke Dewas KPK karena diduga melanggar kode etik. Mereka adalah Firli Bahuri, Lili Pintauli Siregar (sudah mundur), dan Johanis Tanak.

Firli Bahuri dilaporkan dengan sejumlah tuduhan pelanggaran kode etik. Satu-satunya kasus ia dinyatakan bersalah melanggar kode etik adalah penggunaan helikopter. Saat itu Dewas KPK memberi sanksi berupa teguran.

Lili Pintauli menjadi sorotan menerima akomodasi hotel dan tiket menonton MotoGP 2022 di Mandalika dari salah satu BUMN. Dewas KPK menghentikan sidang etik Lili karena ia mundur dari jabatan wakil ketua KPK.

Johanis Tanak dituduh berkomunikasi dengan pihak berperkara yaitu Kepala Biro Hukum Kementerian ESDM, Idris Froyoto Sihite. Tapi Dewas KPK menyatakan Johanis tidak bersalah melanggar kode etik dan kode perilaku.

“Itu menunjukkan keroposnya nilai integritas di KPK,” kata pegiat antikorupsi Zaenur Rohman menyimpulkan persoalan KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri.

Kondisi KPK saat ini yang ia sebut “cacat integritas” merupakan hasil dari perekrutan pimpinan yang bermasalah ditambah dengan revisi Undang Undang KPK 2019 silam.

“KPK memang didesain menjadi lembaga problematik sehingga nantinya bisa jadi publik sendiri yang meminta pembubaran KPK… Itu memang disengaja oleh elit politik kita, baik eksekutif dan legislatif. Presiden dan juga anggota DPR,” kata Zaenur.

Apa yang dikhawatirkan mengenai pelemahan lembaga antirasuah melalui revisi UU KPK 2019 mulai terlihat saat ini, kata mantan Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang.

Saut dan sejumlah pegiat antikorupsi sebelumnya pernah menyoroti pasal-pasal yang membuat KPK lemah di antaranya kewenangan menghentikan kasus (SP3) sampai pembentukan Dewas KPK yang bekerja berdasarkan pengaduan.

“Dulu pengawas internal itu, satu deputi  pengaduan masyarakat satu tempat. Mereka proaktif. Beda dengan sekarang,” katanya.

Selain itu, nilai yang mulai luntur dari KPK sekarang ini karena statusnya sudah menjadi lembaga eksekutif.

“Sekarang dia bagian dari pemerintah, artinya anak buah Jokowi. Bagian dari pemerintah,” pungkas Saut. (TR)

 

Berbagai Sumber