Konsekuensi Pria Kawin Siri Tanpa Diketahui Istri Sahnya
HUKUM – Pro kontra terhadap perkawinan siri di Indonesia ternyata memiliki konsekuensi Pidana terhadap praktik kawin siri tersebut. Terlebih lagi, kawin siri dilakukan oleh pria yang sudah berumah tanggga dan melakukan perkawinan tanpa seizin istri pertamanya.
Dikutip Berita Bangka.com dari Pakar pidana Chairul Huda dalam diskusi, Ahad (14/8/2022), menyampaikan bahwa pada dasarnya kawin siri dapat dikenakan pidana, salah satunya dengan peggunaan Pasal 279 KUHP. Namun sayangnya, penggunaan pasal tersebut di pengadilan belum konsisten.
“Sebenarnya bisa dikenakan Pasal 279, di mana perkawinan terhalang dengan perkawinan lain atau perkawinan-perkawinan lain. Untuk sang suami yang ingin menikah siri, dia terhalang dengan perkawinannya, yang disebut pertama kali. Sedangkan untuk yang perempuan pernikahannya terhalang oleh perkawinan-perkawinan lain yang disebutkan di unsur kedua,” ujar Chairul.
Sayangnya, kata Chairul, karena Indonesia tidak menganut sistem yurisprudensi maka setiap hakim dapat menafsirkan secara berbeda-beda pasal tersebut. Menurutnya, ada yang menyatakan tidak menjadi masalah ketika yang dilakukan adalah kawin siri, namun ada juga yang menyatakan bersalah walaupun perkawinan yang dilakukan adalah kawin siri.
“Putusan MA juga memngikuti dalam dua tafsiran tadi, sehingga akan tergantung pada kontekstualnya, bukan naratifnya. Makna kata perkawinan dalam ketentuan KUHP kemudian bisa dimaknai dengan dua hal yang kemudian juga berimbas pada putusan peradilan. Pasal 279 nanti kontekstualnya bisa dimasukkan atau tidak,” kata Chairul.
Kemudian, Chairul menjelaskan beberapa contoh yang dia temui mengenai ketidakkonsistenan penafsiran Pasal 279 KUHP tersebut.
Pasal 279 KUHP
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun:
1. barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu;
2. barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu.
(2) Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat 1 butir 1 menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(3) Pencabutan hak berdasarkan pasal No. 1 – 5 dapat dinyatakan.
Contoh pertama adalah perempuan yang dijatuhkan pidana tiga bulan karena menikah siri dengan seorang pria beristri. Namun ditingkat banding, Pengadilan Tinggi menolak dan menyatakan bahwa bagi orang muslim adalah perkawinan yang sah dilaksanakan berdasar dan menurut cara serta memenuhi persyaratan sebagaimana yang terdapat dalam UU Perkawinan. Di tingkat Kasasi MA juga menyatakan bebas bagi perempuan tersebut.
“Pada contoh yang saya jelaskan tadi maksud perkawinan di sini adalah seperti yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan, sehingga Perkawinan siri tidak masuk dalam pengertian terhalang perkawinan lain yang terdapat dalam Pasal 279 KUHP,” ujarnya.
Sedangkan kasus kedua, Chairul melanjutkan, seorang pria beristri melakukan kawin siri dan dituntut dengan Pasal 279 KUHP, kemudian dipidana satu tahun penjara. Sampai dengan tahap Kasasi terdakwa tetap dijatuhi hukuman pidana yang sama. Dalam hal ini pengertian perkawinan termasuk perkawinan siri.
“Sehingga sangat jelas perbedaan antara pengertian dari perkawinan dalam kasus pertama dengan kasus kedua. Dan konsekuensi pidananya juga berbeda,” tuturnya.
Chairul kemudian menegaskan bahwa kawin Siri tidak hanya dapat dilihat dari persektif hukum pidana saja. Karena memang sebenarnya tidak ada penafsiran yang tunggal terhadap Pasal 279 KUHP. “Selain itu, nikah siri juga sebenarnya tidak hanya merugikan bagi keturunan saja, tetapi dalam hukum pidana malah laki-laki dirugikan karena nikah siri,” tuturnya.
Tinggalkan Balasan