Oleh: Rusmin Sopian

AKHIR-Akhir ini, frasa politik dinasti dan dinasti politik mengisi ruang publik negeri ini. Dinasti politik dan politik dinasti menggeliat di dalam pembicaraan publik. Apalagi Pilkada 2020 akan segera digelar 9 Desember mendatang.

Makin mengkoherenkan kondisi itu. Pilkada dan dinasti politik. Kontestasi politik dan politik dinasti. Pertanyaan kita sebagai masyarakat, apa kehebatan frasa dinasti politik dan politik dinasti? Apakah dinasti politik dan politik dinasti akan mensejahterakan kita sebagai warga?

Dinasti menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai keturunan raja-raja yang memerintah, semuanya berasal dari satu keluarga. Pengertian tersebut diperjelas dalam laman wikipedia.org yang menyebutkan bahwa dinasti adalah kelanjutan kekuasaan pemerintahan yang dipegang oleh satu garis keturunan (keluarga yang sama).

Politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga.

Dinasti politik lebih indentik dengan kerajaan. Sebab, kekuasaan akan diwariskan secara turun temurun dari ayah kepada anak, agar kekuasaan akan tetap berada di lingkaran keluarga. Apa yang terjadi seandainya negara atau daerah menggunakan politik dinasti?

Politik kekerabatan itu sebagai gejala neopatrimonialistik. Benihnya sudah lama berakar secara tradisional. Yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit system, dalam menimbang prestasi. Politik dinasti jelas bertentangan dengan budaya demokrasi yang sedang tumbuh di negeri tercinta ini dan akan mengebiri demokrasi kita.

Dalam lintasan sejarah abad modern adanya dinasti penguasa dipanggung politik telah tergambar dari potret kepemimpinan di negara Uwak Sam Amerika Serikat, dimana presidennya pernah dipimpin oleh dua Bush yakni George Harbert Walker Bush persiden ke 41 (Bush senior) dan presiden ke 43 yakni Gorge Walker Bush. Yang menarik adalah kepemimpinan ayah dan anak ini, dipanggung kekuasaan Amerika ternyata diwarisi oleh sang kakek Prescott Bush yang pernah menjabat sebagai senator di negara tersebut.

Indonesianis asal Jerman, Marcus Mietzner, dalam paper yang berjudul Indonesia’s 2009 Elections: Populisme, Dynasties and the Consolidation of the Party System, menilai bahwa kecenderungan politik dinasti cukup menguat dalam politik kontemporer Indonesia. Praktik politik dinasti menurutnya, tidak sehat bagi demokrasi. Antara lain karena kontrol terhadap pemerintah yang diperlukan dalam demokrasi, misalnya checks and balances, menjadi lemah.

Bahkan, bahaya otoritarianisme dapat saja terjadi ketika semua kekuatan politik dirangkul dan tunduk pada satu pucuk pimpinan saja. Sebagaimana terjadi pada era Demokrasi Terpimpin Soekarno dan era Orde Baru Soeharto. Ibarat pepatah, buah apel jatuh tak akan jauh dari pohonnya. Ketika masa kekuasaan atau jabatan hendak berakhir, banyak anak pemimpin daerah “diarahkan” terjun meneruskan dinasti politik yang telah dibangun generasi sebelumnya.

Pada sisi lain, oligarki kepemimpinan partai politik maupun pimpinan daerah dengan membangun dinasti wajar-wajar saja. Dan hal ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Pada sisi lain, makna kepemimpinan tidak jauh dari berbicara keteladan. Mungkin sebagai besar bertanya apakah salah adanya kepemimpinan dinasti terutama di era demokrasi saat sekarang ini?

Keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan aturan yang melarang politik dinasti dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 merupakan jalan politik bagi siapa pun untuk secara sah dan meyakinkan maju ke pertarungan politik, meski untuk itu ditengarai punya relasi patron klien dengan penguasa sekalipun. Jika ingin melarang politik dinasti, tentunya perlu dibikin aturan hukum, undang-undang, dan larangan yang mengaturnya. Di dunia ini, politik dinasti itu terjadi, meski ditentang, tetap tak bisa dilarang.

Menurut Muhammad Alfan (2009) dalam bukunya yang berjudul Menjadi Pemimpin Politik mengemukakan, hal ini tidak sepenuhnya salah, karena tidak semua pemimpin politik dinasi gagal lantaran tidak punya kualitas. Yang dikritik adalah unsur nepotisme politik didalamnya.

Sementara itu, pengertian demokrasi adalah suatu format pemerintahan yang mana masing-masing warga negara memiliki hak yang seimbang dan setara terkait penentuan dan pemilihan sebuah keputusan yang nantinya akan membawa dampak pada kehidupan warga negara. Demokrasi ada dan lahir serta menjadi cikal bakal dari penyelenggaraan sistem pemerintahan Indonesia.

Pengertian demokrasi ini pula dapat dimaknai sebagai bentuk kekuasaan paling tinggi yang ada ditangan rakyat. Mengenai demokrasi warga negara boleh ikut ambil bagian dengan langsung maupun pula lewat perwakilan terkait melaksanakan perumusan, pengembangan dan penyusunan hukum. Politik dinasti dan demokrasi merupakan dua sisi mata uang yang berbeda, sebab keduanya saling bertolak belakang.

Dinasti politik yang kini banyak kita temukan di sejumlah Provinsi dan Kabupaten/Kota menunjukan kepada kita bahwa suara rakyat seakan semakin tidak berharga. Niat untuk berkuasa selamanya saja, sebetulnya sudah bersifat anti demokrasi (undemocratic) karena menghambat hak orang lain untuk menjalankan pemerintahan.

Politik dinasti pasti mengabaikan kompetensi dan rekam jejak. Bahkan, politik dinasti bisa mengebiri peran masyarakat dalam menentukan pemimpin. Yang menyedihkan, politik dinasti sengaja dibingkai dalam konteks demokrasi. Dalam alam demokrasi prosedural sekarang, masyarakat seakan diberi peran.

Pakar Komunikasi Politik, Effendi Gazali mengatakan, praktik politik dinasti di era reformasi menunjukkan gejala mengkhawatirkan. Publik disuguhi praktik politik dinasti di sejumlah daerah di Indonesia. Menurut dia, politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan sekelompok orang yang terikat hubungan keluarga.

Effendi menjelaskan dinasti politik rentan menciptakan sifat koruptif kepala daerah. Kekuatan besar yang dimiliki Kepala Daerah, kerap kali digunakan untuk melanggengkan kekuasaan.

Sebagai rakyat kita harus cerdas. Sebab sesungguhnya, kita sebagai masyarakat adalah stakeholder demokrasi, pemegang kuasa yang menentukan pilihan. Bukan objek yang terus diekploitasi untuk dibodohi oleh kepetingan nepotistik. Saatnya cerdas dalam memilih.